SEJARAH SINGKAT MUNTILAN


Created At : 2016-06-02 05:54:42 Oleh : Andi Konten khusus Dibaca : 15193

SEJARAH SINGKAT MUNTILAN

            Kota atau kecamatan Muntilan yang terletak di bagian selatan Kabupaten Magelang mempunyai sejarah yang panjang. Meskipun tidak diketahui sejak kapan daerah ini muncul berdasarkan kronologisnya, prasasti Canggal yang berangka tahun 732 bisa diduga menjadi bukti tertua untuk membuktikan bahwa di daerah ini telah ditemukan adanya bukti kehidupan social manusia (J.C. van Leur, hlm. 108). Di samping prasasti itu, keberadaan sejumlah candi besar di sekitar kota Muntilan seperti candi Ngawen, candi Borobudur, Mendut, Pawon dan beberapa candi di sebelah utara (Dukun, Sawangan) membuktikan bahwa daerah ini telah dihuni sejak akhir abad VIII atau di masa pemerintahan Mataram Hindu.

            Keberadaan candi-candi tersebut bukan hanya membuktikan komunitas tetapi juga kualitas daerah tersebut. Ini membuktikan bahwa Muntilan termasuk wilayah khusus yang dianggap penting dalam struktur kerajaan dengan nilai spiritual dan politis tinggi bagi elite penguasa Hindu masa itu. Hal serupa juga berlangsung di bawah kerajaan Mataram Islam ketika Muntilan diduga menjadi bagian dari lingkup kosmologis territorial dari system kekuasaan agraris raja-raja Jawa, dengan status sebagai bagian dari Negara agung (overzichtkaart 1760, terlampir) Hal ini tidak mengherankan mengingat berdasarkan modal alam geografisnya, Muntilan memiliki tanah subur dengan dialiri oleh sejumlah sungai dan abu vulkanis dari gunung berapi yang memberikan potensi kesuburan tanah tinggi, dengan akibat produktitas yang berlimpah.

            Dalam system politik, pemerintahan di Muntilan telah berlangsung silih berganti. Setelah kerajaan Mataram Islam dibagi menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta menurut perjanjian Giyanti pada bulan Januari 1755, daerah Kedu yang mencakup Muntilan menjadi wilayah Negara agung kedua kerajaan itu dalam pembagian tidak teratur. Diduga Muntilan termasuk wilayah Negara agung Kesultanan Yogyakarta karena kedekatan daerahnya dengan pusat kekuasaan Yogyakarta. Bukti dari keterikatan dengan Kesultanan Yogyakarta adalah adanya seorang bangsawan kraton Yogyakarta yang dikuburkan di desa Gunung Pring dan dijadikan sebagai tokoh penting oleh masyarakat sekitarnya.

            Hal ini berlangsung sampai tahun 1812, ketika berdasarkan kontrak politik antara Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Inggris pada tanggal 1 Agustus 1812, wilayah Kedu termasuk Muntilan harus diserahkan kepada pemerintah Inggris. Setahun kemudian, pemerintah Inggris menjadikan Muntilan sebagai bagian dari Kabupaten Magelang di bawah pimpinan bupati pertama Raden Tumenggung Danuningrat I.

            Muntilan sendiri kemudian dijadikan daerah administrative setingkat distrik di bawah seorang wedana pada awalnya yang berkedudukan di Probolinggo (desa sebelah timur Muntilan sekarang). Pada tahun 1822 Probolinggo dijadikan sebagai kabupaten sendiri dengan bupatinya berkedudukan di Muntilan, yang berperan penting ketika terjadi perang Diponegoro dengan pembangunan sebuah benteng oleh Belanda di kota ini (daerah Beteng) untuk membatasi gerakan gerilya Diponegoro dan pasukannya (Javasche Courant, 23 Mei 1829).

            Setelah perang Diponegoro berakhir, perubahan administrasi terjadi pada tahun 1832 dengan penghapusan kabupaten Probolinggo dan diturunkan menjadi kawedanan atau distrik. Muntilan tetap menjadi ibukota distrik ini dan selama Kultuurstelsel menjadi penyedia lahan bagi penanaman tebu untuk kepentingan pabrik gula swasta yang dibuka di wilayah Yogyakarta. Pada masa ini arti penting Muntilan sebagai kota mulai tampak dengan peningkatan pemukimannya, yang terdiri atas orang-orang Cina dan Jawa. Untuk melayani kebutuhan administrasi dan social, pemerintah Belanda mendirikan sebuah sekolah dasar sederhana di Muntilan pada tahun 1851 (Aardrijkskundig Woordenboek van Ned. Indie, 1869, hlm.529).

            Kehidupan social yang penting di Muntilan terus meningkat terbukti dari adanya pertumbuhan dalam hal kehidupan beragama dari komunitas yang tinggal di kota ini. Sejak awal abad XIX di Muntilan telah terdapat kampong Tionghoa yang dipimpin oleh seorang kepala kampong (De Residentie Kedoe: naar de uitkomsten  der statistiek opname en andere officiele bescheiden, 1871, hlm. 79). Pada awal tahun 1870-an sebuah rumah ibadah bagi komunitas Tionghoa, kelenteng, didirikan di kota ini. Bangunan yang pada awalnya terbuat dari bambu ini menjadi sarana ibadah bagi masyarakat Tionghoa, yang semula terletak di pemukiman masyarakat utama. Karena tuntutan situasi, bangunan ini kemudian dibongkar dan dipindahkan ke lokasi yang ada sekarang ini yaitu di depan rumah pegadaian Muntilan. Perpindahan dan pembangunan klenteng ini terjadi pada tahun 1905, yang diikuti dengan pembukaan sekolah oleh yayasan Tionghoa Hwee Koan pada tahun 1906. Pendirian sekolah ini setahun kemudian diikuti dengan peresmian Yayasan Tiong Siek Hwee pada tanggal 22 Desember 1907 (het nieuws van den dag voor Nederlandsch Indie, tanggal 24 Desember 1907).

            Bukti lain dari dinamisasi kehidupan social dan ekonomi masyarakat Muntilan adalah dijadikannya kota ini sebagai jalur kereta api oleh perusahaan kereta api Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij yang membuka jaringan kereta api dari Yogyakarta ke Magelang melalui Muntilan pada  akhir tahun 1895 (Besluit van Gouverneur Generaal 14 October 1895 no. 7, ANRI). Jaringan rel ini mulai dipasang di Muntilan pada tahun 1897 dan pada tahun 1898 halte Muntilan siap menerima persinggahan kereta api yang melaju dari Yogyakarta ke Magelang dan sebaliknya.

            Sarana komunikasi lain yang dimiliki oleh Muntilan saat itu adalah pelayanan pos. pada tahun 1906 kantor pos pembantu dibuka untuk melayani kebutuhan korespondensi warga Muntilan. Melalui kantor pos induk di Magelang, kantor pos pembantu di Muntilan bisa memenuhi kebutuhan warga pada masa itu dengan pengiriman surat dan paket barang (De Sumatra Post, tanggal 2 Agustus 1906).

            Selain infrastruktur di atas, Muntilan pada akhir abad XIX juga mengalami perkembangan dengan hadirnya missi Katolik yang dirintis oleh Pastur F. van Lith. Sejak kedatangannya pertama pada tahun 1894 sebagai misionaris, pastur van Lith terus berkarya dengan focus mengentaskan kualitas hidup orang Jawa. Untuk itu lewat interaksinya dengan masyarakat pribumi, pastur van Lith mampu membawa unsure kehidupan modern dalam kehidupan social mereka termasuk sector kesehatan. Pada tahun 1902 batu pertama diletakkan oleh pastur van Lith bagi pembangunan poliklinik sederhana, yang kelak menjadi cikal bakal rumahsakit umum Kab. Magelang di Muntilan.

            Kemajuan yang pesat dari perkembangan kehidupan kota Muntilan ini mendorong pemerintah colonial Belanda mempertimbangkan status administrasinya. Sampai tahun 1900, Muntilan termasuk distrik Probolinggo. Dengan penduduk Tionghoa mencapai sekitar 1400 orang dan penduduk Arab 13 orang di samping 110.000 orang pribumi (Encyclopaedie van Ned. Indie, III, hlm. 765), Muntilan selayaknya menjadi pusat pemerintahan distrik. Untuk itu dalam reorganisasi pemerintahan yang berlangsung pada tanggal 1 Agustus 1901, Muntilan dijadikan ibukota distrik atau kawedanan Muntilan menggantikan Probolinggo (Staatsblad van Nederlandsch Indie no. 235).

            Sejak tanggal itu Muntilan memiliki dua pimpinan pemerintahan: kontroleur untuk urusan pemerintahan Eropa dan wedana untuk membawahi orang pribumi. Bagi orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), jabatan pimpinan setingkat distrik yakni Letnan baru diberikan pada tahun 1911. Namun karena alasan politik, pemerintah colonial baru melantik Letnan Tionghoa ini pada tahun 1912, yang pada tahun 1927 pangkatnya dinaikkan menjadi kapten. Orang Tionghoa yang dilantik menjadi letnan dan kemudian kapten ini adalah Thee Tjien Ing.

            Kehidupan Muntilan di masa colonial berlangsung dinamis dengan kemajuan yang mulai tampak. Di bidang penerangan, perusahaan listrik NV. Aniem mulai memperoleh konsesi untuk menerangi kota Muntilan dan sekitarnya pada tahun 1925 (de Indische Courant, tanggal 12 Agustus 1925). Sejak saat itu penerangan digantikan dengan infrastruktur listrik setelah sejak akhir abad XIX menggunakan lampu gas. Bersamaan dengan itu, satu tahun kemudian jaringan telepon mulai memasuki kota Muntilan sebagai prasarana public.

            Di bidang pendidikan Muntilan dikenal sebagai pusat pendidikan modern untuk Magelang dan Kedu. Pendidikan modern dirintis oleh Pastur van Lith dengan missi Katoliknya yang mulai membuka sekolah guru sederhana (Kweekschool) pada tahun 1905. Animo masyarakat untuk menyekolahkan putra dan putrinya sangat tinggi sehingga pada tahun 1917 sekolah ini ditingkatkan menjadi Hollandsch Inlansche Kweekschool, yang menghasilkan tenaga guru untuk mengajar di sekolah dasar.

            Bagi kebutuhan pendidikan sekolah dasar, missi Katolik melayani pembukaan sejumlah sekolah mulai dari Volkschool (sekolah rakyat) hingga Hollandsch Inlandsch School (HIS) sebagai pendidikan Belanda bagi anak pribumi yang bisa meneruskan ke jenjang menengah yakni MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs). Ketika tuntutan bagi pendidikan khusus untuk anak-anak Tionghoa dirasakan mendesak, missi Katolik pada tahun 1939 membuka Hollandsch Chineese School (HCS) yang setara dengan HIS. Selain itu juga beberapa sekolah khusus dibuka oleh missi seperti Schakelschool (sekolah penghubung bagi siswa Vervolgschool untuk masuk HIS), ambachtschool (sekolah untuk tenaga tukang) dan standaardschool (sekolah guru untuk mengajar volkschool). Alumni sekolah ini tersebar sebagai tenaga guru di seluruh Indonesia, dan mereka kemudian membentuk yayasan yang disebut Franciscus Xaverius College.

            Di era pendudukan Jepang yang dimulai pada bulan Maret 1942, Muntilan berada di bawah pimpinan seorang perwira militer bernama Letnan Suchiara. Lokasi yang sebelumnya merupakan kompleks pendidikan oleh missi Katolik ini diubah menjadi kamp internir untuk menahan semua orang Belanda di wilayah Magelang dan sekitarnya. Sampai bulan Oktober 1943 semua orang Belanda ditahan di tempat ini, dan baru setelah bulan itu kaum pria dipindahkan ke kamp internir di Ambarawa.

            Proklamasi kemerdekaan terdengar di Muntilan beberapa hari setelah tanggal 17 Agustus 1945, yang disiarkan melalui radio dan dibawa oleh para tokoh perjuangan dari Yogyakarta. Peristiwa ini menandai suasana revolusi yang berlangsung sampai tahun 1949 dengan diwarnai oleh sejumlah insiden berdarah yang melanda masyarakat Muntilan (het dagblad, tanggal 21 November 1945). Beberapa peristiwa penting dalam nuansa revolusi, termasuk jatuhnya korban dan pembakaran bangunan, melanda kota ini seperti aksi bumi hangus menjelang masuknya tentara Belanda pada bulan Desember 1948 ke kota Muntilan (De Locomotief, tanggal 30 Desember 1948).

            Setelah situasi politik nasional kembali kondusif, kota Muntilan kembali pada suasana normal dan persatuan kembali tercipta ketika pada bulan Oktober 1949 kesatuan gerilya RI memasuki kota ini dan tinggal sementara di kompleks Pecinan (De Locomotief, tanggal 18 Oktober 1949). Beberapa orang perwira yang menjadi komandan kesatuan gerilya di selatan Muntilan memimpin pasukannya untuk menegakkan pemerintahan RI dan menjaga ketertiban di sana. Ini menandai era kemerdekaan di kota Muntilan sebagai lembaran sejarah baru bagi historiografi daerah ini. (SUMBER : DR. HARTO YUWONO)

        

GALERI FOTO

Agenda

Tidak ada acara